MA & PARTNERS LAW FIRM


Judicialization of Politics dalam Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilu

Firman Jaya Gulo, S.Pd. (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang)

Hukum-Pedia.com, Tangerang Selatan - Makna memutus perselisihan tentang hasil pemilu adalah memeriksa dan mengadili perselisihan antara peserta pemilu dengan KPU mengenai proses perolehan jumlah suara dan hasil perolehan jumlah suara peserta pemilu secara nasional. Ada 2 hal yang perlu diperhatikan dalam kewenangan MK memutus perselisihan Hasil Pemilu sebagai Judicialization of Politics adalah :

1.       Mahkamah Konstitusi sebagai Peradilan Politik

Di Indonesia, fenomena judicialization of politics dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi (“MK”) memutus perkara perselisihan hasil pemilu memang tidak dapat dilepaskan dari tujuan dibentuknya Mahkamah Konstitusi itu sendiri, karena memang sejak awal terlihat bahwa pertimbangan dibentuknya Mahkamah Konstitusi kental dengan muatan politis. Hal itu dapat kita lihat, dimana ketika pembahasan amandemen UUD 1945 berlangsung, dalam pembahasan mengenai MK oleh Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR 2000 dan 2001 terdapat tiga pendapat mengenai kedudukan MK, yaitu : Pertama, MK merupakan bagian dari MPR. Kedua, MK melekat atau menjadi bagian dari Mahkamah Agung (“MA”). Ketiga, MK didudukan sebagai lembaga negara tersendiri. Usulan agar Mahkamah Konstitusi menjadi bagian dari MPR tersebut didasari oleh alasan bahwa nantinya MK akan menangani perkara-perkara yang sifatnya politis sehingga harus diletakan sebagai bagian dari MPR, karena saat itu MPR merupakan lembaga tertinggi yang berfungsi untuk memutus hal-hal yang bersifat mendasar seperti menetapkan dan merubah UUD 1945, serta memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden.

Meskipun akhirnya usulan agar MK menjadi bagian dari MPR tersebut ditolak, akan tetapi hal itu membuktikan bahwa memang sejak awal tujuan dibentuknya MK adalah untuk mengadili perkara-perkara yang bersifat politis. Bahkan dapat kita telusuri dari salah satu pendapat anggota MPR ketika melakukan pembahasan Amandemen UUD 1945 tentang pembentukan MK yaitu Soetjipto dari Fraksi Utusan Golongan yang menyatakan secara tegas bahwa MK memang dibentuk untuk menyelesaikan masalah-masalah politik.

“Jadi bisa saja memang kalau rekrutmennya Mahkamah atau Hakim Konstitusi itu sembilan, tiga oleh DPR, tiga oleh DPD, dan tiga oleh Presiden. Karena perkara-perkara nanti memang berkisar masalah ketatanegaraan sengketa antar pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, antar pemerintah daerah-pemerintah daerah dan juga masalah mengenai konstitusi dan juga masalah politik karena dari DPR.

Salah satu alasan mengapa begitu politisnya tujuan dibentuknya MK tidak dapat dilepaskan dari konigurasi politik yang ada ketika dibentuknya MK. Ketika dibentuknya Indonesia baru saja lepas dari pemerintahan yang otoriter dan memasuki era reformasi, dimana pada saat itu banyak muncul partai-partai politik baru, dan tidak terdapat satu kekuatan politik yang benar-benar menguasai MPR sebagai lembaga yang mengubah UUD 1945.

Sebagaimana dikemukakan Tom Ginsburg pembentukan Mahkamah Konstitusi sangat dipengaruhi oleh konigurasi politik yang ada ketika dibentuknya, apabila semakin terbaginya lingkungan politik dimana terdapat banyak partai yang saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan, akan membuat semakin kuatnya peran pengadilan yang akan dibentuk. Sebaliknya apabila terdapat satu partai politik yang kuat dan menguasai mayoritas lingkungan politik, maka peran pengadilan akan semakin lemah.

Maka dari itu dengan terdapatnya banyak partai dan tidak terdapatnya kekuatan politik yang sangat dominan ketika dibentuknya MK, tak heran apabila saat ini MK memiliki peran yang kuat dalam memutus masalah-masalah politik, sebagaimana hal itu tercermin dimana begitu banyaknya perkara perselisihan hasil pemilu yang diputus oleh MK.

2.   Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilu sebagai Objek Politisasi

Di Indonesia melalui kewenangannya memutus perkara perselisihan hasil pemilu yang merupakan bentuk Judicialization of Politics, maka terbuka kemungkinan bagi MK menjadi objek politisasi cabang kekuasaan lainnya karena pemilu itu sendiri merupakan salah satu mekanisme bagi para pesertanya untuk dapat duduk di cabang kekuasaan lain yaitu legislatif maupun eksekutif. 

Terbukanya kemungkinan bagi MK menjadi objek politisasi tersebut dapat kita lihat dari banyaknnya perkara perselisihan hasil pemilu yang dimohonkan kepada MK. Banyaknya perkara perselisihan hasil pemilu yang dimohonkan tersebut membuat MK sangat kerepotan dalam menanganinya.

Bahkan sebelum ini MK tidak hanya kerepotan dalam menangani perselisihan hasil pemilu legislatif dan presiden saja yang dilangsungkan lima tahun sekali, tetapi juga kerepotan menangani perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) akibat terlalu banyaknya perkara sengketa pilkada yang masuk. Banyaknya perselisihan hasil pilkada yang masuk ke MK tersebut disebabkan adanya anggapan bahwa “apabila kalah dalam pilkada maka dibawa saja ke MK” yang membuat 90% pilkada berujung di MK.

Puncaknya adalah ketika mantan Ketua MK Akil Mochtar ditangkap karena menerima suap ketika menangani sengketa pilkada sehingga akhirnya MK melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 menghapus kewenangan MK dalam memutus sengketa pilkada. Namun dapat dikatakan bahwa akibat terungkapnya perkara suap yang menimpa ketua MK tersebut membuat tereduksinya kepercayaan rakyat kepada MK.

Contoh tersebut tentu menunjukan bahwa kewenangan MK memutus perselisihan hasil pilkada telah membuat MK menjadi objek politisasi dari para peserta pilkada. Saat ini, meskipun MK sudah tidak lagi berwenang memutus perselisihan hasil pilkada, namun perselisihan hasil pemilu legislatif dan eksekutif yang masuk ke MK setiap 5 tahun sekali tetap membuat MK kewalahan karena banyaknya jumlah perkara yang masuk. 

Salah satu masalah yang membuat terlampau banyaknya perkara perselisihan hasil pemilu yang diajukan kepada MK saat ini di akibatkan terdapatnya ketidakmengertian dari para peserta pemilu mengenai dasar gugatan yang diajukan. Contohnya sebagaimana dapat kita lihat dalam pemilu 2009, dari total 657 permohonan mengenai perkara perselisihan hasil pemilu yang diajukan kepada MK baik itu pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden hanya 71 perkara yang dikabulkan, selebihnya kebanyakan perkara ditolak, bahkan tak sedikit pula yang dinyatakan tidak dapat diterima.

Dalam permohonannya, ternyata banyak pemohon yang memasukan pelanggaran-pelanggaran administratif, tindak pidana pemilu, dan sengketa dalam proses pemilu sebagai dasar gugatan. Padahal permasalahan-permasalahan tersebut bukanlah kewenangan MK untuk menyelesaikannya seperti pelanggaran administratif dan sengketa pemilu yang merupakan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menyelesaikannya, sedangkan untuk perkara tindak pidana pemilu merupakan kewenangan kepolisian, penuntut umum, serta pengadilan.

Berkaca dari penjabaran tersebut maka tak mengherankan apabila banyak dari permohonan perselisihan hasil pemilu yang diajukan di MK ditolak atau tidak dapat diterima, penyebab banyaknya perkara yang masuk kepada MK yang sebenarnya merupakan masalah tindak pidana dan administratif pemilu adalah akibat tafsiran TSM yang dikeluarkan oleh MK dalam Putusan nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang pilkada Provinsi Jawa Timur yang kemudian menjadi landmark decision

Dalam putusan tersebut MK memberikan tafsiran yang luas dalam menangani sengketa pilkada, dimana MK tidak hanya mengadili perselisihan mengenai hasil pemilu, melainkan juga mengenai perselisihan dalam proses pemilu apabila terdapat pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang akhirnya mempengaruhi hasil pemilu. Tafsiran tersebut menunjukan bahwa telah terjadi perluasan makna dimana perselisihan tidak hanya dilihat dari hasil tetapi juga prosesnya. Salah satu pertimbangan hukum yang digunakan oleh MK dalam mengeluarkan tafsiran tersebut adalah MK tidak boleh membiarkan aturan keadilan prosedural (Procedural Justice) mengesampingkan keadilan substantif (Substantive Justice), karena fakta-fakta hukum dalam perkara tersebut jelasjelas merupakan pelanggaran konstitusi, khususnya Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengharuskan kepala daerah dipilih secara demokratis, serta tidak melanggar asas-asas pemilu yang terdapat dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mengharuskan pemilu dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pasca adanya putusan tersebut banyak masuk perkara-perkara yang sebenarnya merupakan masalah tindak pidana dan administratif dalam pemilu yang sebenarnya bukan merupakan kompetensi MK untuk menanganinya, sehingga mengakibatkan banyaknya perkara yang akhirnya ditolak sepertinya halnya pada Pemilu 2019. Disini dapat kita lihat bahwa ketidaktahuan masyarakat mengenai dasar gugatan yang diajukan dalam perkara perselisihan hasil pemilu sebenarnya didasari oleh akibat tidak jelasnya batas-batas mengenai tafsiran TSM yang dikeluarkan oleh MK, karena dengan adanya tafsiran TSM tersebut maka kini MK tidak hanya memutus perselisihan mengenai hasil, namun juga memutus pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilu, yang mana proses pemilu itu sendiri memiliki unsur politis yang tinggi, selain itu keluarnya tafsiran TSM tersebut oleh MK juga mereduksi kewenangan Bawaslu dan Panwaslu sebagai lembaga yang berwenang memutus sengketa dalam proses pemilu. Meskipun keputusan dari Bawaslu dalam memutus sengketa dalam proses pemilu disebut inal dan mengikat, namun kerap diabaikan karena dianggap tidak sekuat putusan lembaga yudikatif yaitu MK.

Maka dari itu dapat dikatakan bahwa MK telah dengan sengaja mengembangkan judicialization of politics dalam perkara perselisihan hasil pemilu dengan dalih untuk menegakan keadilan substantif, yang pada akhirnya justru mereduksi kewenangan lembaga-lembaga lainnya yang juga berwenang menyelesaikan sengketa pemilu, dan juga membuka celah bagi MK untuk menjadi objek Politisasi dari cabang kekuasaan lainnya, dimana hal itu dapat dilihat dari banyaknya perkara perselisihan hasil pemilu yang dimohonkan pada MK.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa sejak awal keberadaan MK memang dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara-perkara politik dan ketatanegaraan yang salah satunya adalah mengenai perselisihan hasil pemilu, dengan begitu diharapkan permasalahan mengenai pemilu dapat diselesaikan secara hukum sesuai prinsip-prinsip yang terdapat dalam konstitusi, namun harus diingat pula bahwa kewenangan MK dalam memutus perselisihan hasil pemilu merupakan suatu bentuk Judicialization of Politics yang mesti diimbangi pula oleh prinsip pembatasan diri (Judicial Restraint) mengingat MK sebagai lembaga peradilan harus menjaga kedudukannya agar tidak menjadi objek politisasi dari cabang kekuasaan lainnya, dan juga apabila MK terlalu aktif dalam memutus perkara perselisihan hasil pemilu maka hal itu dapat mengarah kepada juristokrasi yang dapat mencederai nilai-nilai demokrasi. 

Salah satu bentuk pembatasan diri yang dapat dilakukan oleh MK adalah dengan membatasi makna dari tafsiran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dikeluarkan oleh MK, sebab tidak adanya batas yang jelas mengenai tafsiran TSM tersebut justru membuka celah bagi MK untuk menjadi objek politisasi cabang kekuasaan lain yang terbukti dari banyaknya perkara perselisihan hasil pemilu yang dimohonkan pada MK, selain itu tafsiran tersebut juga mengakibatkan tereduksinya kewenangan lembaga-lembaga lainnya yang juga berwenang mengatasi sengketa pemilu seperti Bawaslu karena tafsiran tersebut memperluas kewenangan MK, dimana MK kini tidak hanya berwenang memutus perselisihan hasil pemilu saja, tetapi juga proses yang terdapat dalam pemilu.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url