Penulis : Rusli Rinaldi, S.H. (Mahasiswa
Magister Hukum Universitas Pamulang)
Kontroversi Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023
Hukum-Pedia.com, Tangerang Selatan - Sebelum
batas akhir pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden, masyarakat
dikejutkan oleh putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor
90/PUU-XXI/2023. Dalam putusan tersebut, MK memutuskan bahwa kepala daerah di
bawah usia 40 tahun dapat mencalonkan diri sebagai calon presiden atau calon
wakil presiden, asalkan mereka memiliki pengalaman atau sedang menjabat sebagai
kepala daerah.
Keputusan
ini muncul sebagai respons terhadap gugatan terkait UU No. 7 tahun 2017 tentang
pemilihan umum yang berkaitan dengan batasan usia untuk calon presiden dan
calon wakil presiden. Gugatan tersebut diajukan oleh seorang mahasiswa dari
Universitas Sebelas Maret (UNS) bernama Almas Tsaqibbirru.
Ini
menunjukkan bahwa putusan tersebut diduga kuat terkait dengan kepentingan
Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden, yang saat itu menjabat sebagai Walikota
Solo dan berkeinginan untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden
bersama Prabowo Subiyanto. Namun, Gibran terhalang oleh syarat usia yang
ditetapkan secara konstitusional.
Dengan
putusan MK ini, aturan mengenai batas usia bagi calon presiden dan calon wakil
presiden menjadi lebih fleksibel, memungkinkan kandidat di bawah usia 40 tahun
yang memiliki pengalaman kepemimpinan di tingkat daerah untuk mencalonkan diri.
Hal ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat serta
mengundang perdebatan tentang integritas proses demokrasi dan penerapan hukum
yang adil dan objektif.
Putusan
mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden telah menimbulkan
kekhawatiran signifikan terhadap stabilitas tatanan demokrasi di Indonesia.
Implikasinya terhadap wibawa dan independensi Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai
lembaga penegak hukum yang diharapkan netral dan adil menjadi menjadi sorotan
utama. Pada akhirnya, ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap MK sebagai
penjaga konstitusi.
Putusan
MK ini memunculkan pertanyaan serius mengenai integritas proses hukum di
Indonesia. Dengan memutuskan untuk mengubah batas usia calon presiden dan calon
wakil presiden, MK dipandang oleh beberapa pihak telah terlalu terlibat dalam
keputusan politik yang seharusnya menjadi wewenang lembaga legislatif.
Hal
ini juga memunculkan keraguan tentang kemandirian dan keadilan MK. Dengan
mempertimbangkan konteks politik dan spekulasi mengenai kemungkinan pengaruh
dari pihak tertentu, keputusan ini meninggalkan kesan bahwa MK mungkin tidak
sepenuhnya bebas dari tekanan politik atau kepentingan individu.
Dampak
terbesar dari keputusan ini adalah terletak pada penurunan kepercayaan publik
terhadap MK sebagai penjaga konstitusi dan penegak hukum. Ketika lembaga hukum
yang seharusnya independen terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal, itu dapat
merusak fondasi demokrasi dan negara hukum.
Oleh
karena itu, penting bagi MK untuk memastikan bahwa keputusan-keputusannya
didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang kuat dan objektif, serta untuk
memastikan bahwa lembaga tersebut mempertahankan independensinya dari tekanan
politik dan kepentingan pribadi serta kepentingan penguasa. Hanya dengan cara
ini, kepercayaan publik terhadap MK dan konstitusi Indonesia dapat
dipertahankan dan diperkuat.
Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator
Mahkamah
Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Mahkamah
Konstitusi merupakan lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Moh.
Mahfud MD dalam bukunya Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu (hal.280), negative legislator dapat dimaknai
sebagai tindakan Mahkamah Konstitusi yang dapat membatalkan norma dalam
judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)
atau membiarkan norma yang diberlakukan oleh lembaga legislatif tetap berlaku
dengan menggunakan original intent UUD
1945 sebagai tolak ukurnya. Sementara Mahfud (hal. 280) menambahkan bahwa positive legislator adalah organ atau
lembaga (merujuk pada lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) dan
Pemerintah) yang memiliki kewenangan untuk membuat norma.
Dari
penjelasan diatas jelas kiranya bahwa MK merupakan Lembaga negative legislator yaitu Lembaga yang kewenangan hanya dalam
menguji yakni antara lain dengan membatalkan suatu undang-undang apabila isi, materi,
rumusan pasal dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan norma-norma
dalam Konstitusi bukan sebagai positive
legislator, MK tidak boleh mengambil peran dalam menetapkan norma baru,
karena pembentukan norma baru adalah tanggung jawab DPR bersama dengan Presiden
atau Pemerintah sebagai pembuat undang-undang.
Jadi
berdasarkan pendapat penulis, MK sudah jauh melampaui kewenangannya sebagai negative legislator, dan ini bukan kali
pertamanya MK bertidak sebagai positive
legislator.
Sebelumnya
dalam putusan No.112/PUU-XX/2022, MK memperpanjang masa jabatan pimpinan dari
empat tahun menjadi lima tahun.
Meskipun
dalam pertimbangannya MK berpendapat ketentuan Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011
bertentangan dengan tujuan pembentukan Mahkamah Konstitusi yakni untuk
menegakkan hukum dan keadilan khususnya dalam rangka menegakkan
konstitusionalitas berdasarkan UUD 1945. Adanya pasal tersebut berakibat
Mahkamah Konstitusi terhalang untuk:1.
Menguji konstitusionalitas norma.
2.
Mengisi kekosongan hukum sebagai akibat putusan MK yang menyatakan suatu norma
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu proses pembentukan undang-undang membutuhkan waktu yang cukup
lama, sehingga tidak dapat segera mengisi kekosongan hukum tersebut.
3.
Melaksanakan kewajiban hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Keberlakuan dan Sifat Putusan MK
Menjatuhkan putusan adalah salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (“MK”)
yang telah
diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (“UU MK”) yang berbunyi:
1. menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
3. memutus pembubaran partai politik;
4. memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.”
Dalam
Pasal 10 Ayat
(1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi “Putusan Mahkamah Konstitusi
bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan
hukum tetap sejak dijatuhkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat
final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula
kekuatan hukum mengikat (final and binding).”
Tindakan
Mahkamah Konstitusi (MK) seharusnya terbatas pada peran sebagai negative
legislator, bukan positive legislator. Sebagai negative legislator, MK memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
dan membatalkan Undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Namun, MK
tidak memiliki wewenang untuk membuat atau merumuskan norma baru.
Oleh
karena itu, keputusan MK yang menetapkan atau mengubah aturan hukum harus
didasarkan pada interpretasi yang tepat terhadap UUD 1945 dan prinsip-prinsip
konstitusi. Menjadi positive legislator,
atau membuat kebijakan baru, merupakan kewenangan DPR bersama dengan Presiden atau
Pemerintah sebagai pembuat Undang-undang. MK seharusnya tetap menjaga
independensinya sebagai lembaga peradilan yang netral dan tidak terpengaruh
oleh kepentingan politik, individu, atau Penguasa.
Referensi
Moh Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta:
Rajawali Pers, 2012, hal. 280
Putusan MK 48/2011 hal. 94