Opini Hukum Terkait Kebijakan dan Kewenangan Pj Gubernur DKI Jakarta
Penulis : Santoso, S.H. (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang)
Hukum-Pedia.com, Jakarta - Akhir-akhir ini kita melihat fenomena di social media maupun elektronik tentang dicabutnya KJMU (Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul), lalu fenomena genangan banjir yang di periode Gubernur sebelumnya bisa surut dalam hitungan jam menjadi hitungan hari, ada juga slogan Provinsi DKI jakarta yang sebelumnya Jakarta Kota Kolaborasi menadi “Sukses Jakarta Untuk Indonesia”, lalu dicabutnya layanan internet gratis Jakwifi, dan tidak diberikannya kunci rumah susun untuk warga gusuran Kp. Bayam dan banyak hal lagi dari kebijakan PJ Gubernur DKI Jakarta yang viral, kemudian mayoritas netizen yang merupakan warga Jakarta maupun yang berdomisili di luar Jakarta banyak yang berkomentar, ‘Gubernur Giveaway” kok bukannya merawat apa yang sudah bagus tetapi justru berusaha menghilangkan legacy gubernur sebelumnya yang dipilih oleh rakyat Jakarta (Gubernur Definitif).
Indikasi kepentingan politik sangat kental mengingat penunjukkan PJ gubernur dilakukan oleh Presiden, dan mayoritas di kota-kota tertentu merupakan orang lingkaran presiden, contohnya saja PJ Gubernur Jakarta yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Sekretariat Presiden RI di tahun 2017 dan Kepala Badan Pengelola Keuangan Aset Daerah DKI Jakarta pada saat kepemimpinan Gubernur Jokowi dan Ahok, lalu dikutip dari m.jpnn.com ada 5 (lima)PJ Gubernur lagi, diantaranya, Jawa Barat Bey Machmudin, Komjen Pol (Purn) Nana Sudjana sebagai Pj Gubernur Jawa Tengah, Mayor Jenderal TNI (Purn) Hassanudin sebagai Pj Gubernur Sumatera Utara, Irjen Pol. Sang Made Mahendra Jaya sebagai Pj Gubernur Bali, dan Ridwan Rumasukun sebagai Pj Gubernur Papua.
Namun dari sekian
banyaknya PJ Gubernur, mengapa hanya Provinsi DKI Jakarta yang paling “berisik”
dalam menyuarakan pendapatnya, hal itu tentu saja karena Jakarta adalah
miniatur Indonesia yang masyarakatnya pun sudah terbuka, kritis, dan pastinya disorot media siang dan malam, lalu
pertanyaanya apakah urgensi dari PJ Gubernur? apakah wewenang PJ Gubernur bisa
sama dengan Gubernur Definitif, yang justru kebijakannya kontraproduktif untuk
warganya?apakah semua itu ada dasar hukumnya?
Setelah penulis teliti, dasar hukum penunjukkan PJ Gubernur ialah Undang-Undang No. 10 tahun 2016 tentang PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG dimana disebutkan dalam:
Pasal 201 (8) : Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Pasal 201 (9): Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
Pasal 201 (10):Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini contoh jabatan pemimpin tinggi madya ialah sekretaris jenderal, direktur jenderal, inspektur jenderal, kepala badan, staf ahli menteri, dan jabatan lain yang setara eselon I.
Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari, pemilu pada
dasarnya bertujuan untuk membentuk pemerintahan di pusat dan daerah. Melalui
pemilu, jabatan pemerintahan nasional yang meliputi presiden, anggota DPR, dan
anggota DPD akan terisi. Begitu pula dengan jabatan pemerintah daerah yang
mencakup kepala daerah serta anggota DPRD. Menyerentakkan pemilu dan pilkada
pada tahun yang sama dinilai akan menghasilkan pemerintahan yang stabil. "Pemerintahan
akan stabil di antaranya kalau menggunakan desain kepemiluan. Ada keserentakan
pemilu karena konstelasi politiknya yang akan mengawal 5 (lima)
tahun ke depan," kata
Hasyim kepada Kompas.com, Kamis (2/6/2022).
Jadi secara hukum formil penunjukkan PJ Gubernur oleh Presiden sudah sesuai
dengan tujuan dibentuknya Undang-Undang No.10 tentang “Pilkada” tersebut, tetapi menurut penulis mengapa tidak
diperpanjang saja jabatan Gubernur Definitif tersebut sampai dengan November
2024 biar seluruh program dan kebijakannya dapat diselesaikan secara tuntas,
lalu masyarakat pasti bertanya, dasar hukumnnya apa? ya buat saja perubahan
Undang-undang tentang Pilkada existing tersebut dengan menyisipkan pasal
mengenai perpanjangan jabatan Gubernur definitif sampai dengan dilakukannya
Pilkada serentak pada November 2024, tentu hal ini tidak mudah, mengingat dalam
melakukan perubahan undang-undang perlu kekuatan politik di Parlemen, karena
terbentuknya suatu undang-undang merupakan proses politik sebagaimana pendapat
Mahfud MD, politik hukum adalah ”legal policy atau garis (kebijakan) resmi
tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan
pembuatan hukum baru yang akan diberlakukan baik dengan
pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama,
dalam rangka mencapai tujuan Negara”. artinya jika seorang Kepala Daerah tidak
memiliki kekuatan politik yang masif, maka mustahil perubahan Undang-Undang itu
terjadi.
Lebih lanjut mengenai wewenang dari PJ Gubernur, Menurut Mendagri Tito Karnavian "tugas dan kewenangan secara umum sama dengan penjabat definitif. Tapi penjabat daerah ini tidak kolektif, ya, dia ditunjuk," kata Benny di Kemendagri, Kamis (12/5).dikutip dari kumparan.com) tetapi Ia menegaskan ada 4 hal yang dilarang bagi Pj menurut Pasal 132A Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yaitu:
- Dilarang melakukan mutasi pegawai. Penjabat Gubernur tidak bisa melakukan mutasi pegawai;
- Dilarang membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan oleh penjabat sebelumnya;
- Dilarang membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya;
- Dilarang membuat kebijakan yang bertentangan dengan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.
Namun ada pengecualian pada ayat (2) pasal 132A terebut yaitu “Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari
Menteri Dalam Negeri. Jadi,
dapat disimpulkan disini,
pembatasan wewenang PJ Gubernur bisa dikecualikan dengan syarat mendapatkan
izin tertulis dari Menteri Dalam Negeri, jadi buat warga Jakarta yang memang
merasa, mengalami dan menyaksikan adanya penghapusan atau perubahan program dan
kebijakan Gubernur sebelumnya oleh PJ Gubernur DKI Jakarta, bisa mengkonfirmasi
kepada Menteri Dalam Negeri, dan dalam iklim negara yang menganut demokrasi
kritik atas kebijakan pemerintah merupakan sesuatu yang lumrah dan mestinya DPRD
DKI jakarta sensitif atas isu-isu seperti ini, sehingga bisa menggunakan hak
nya dalam mengadakan rapat dengar pendapat dengan mengundang PJ Gubernur
Jakarta untuk mengkonfirmasi isu-isu, alasan dan atau dasar hukum atas
kebijakan dan program kerja yang telah dilakukan di DKI Jakarta.