Tanggapan Pakar Hukum Pidana Terhadap Sidang Praperadilan Pegi Setiawan
Jakarta, Hukum-Pedia.com - Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta Dr. Beniharmoni Harefa, S.H., LL.M., menanggapi Sidang Praperadilan Pegi Setiawan, Jumat, 05 Juli 2024 di Jakarta.
Pertama, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur secara limitatif terkait alat bukti. Pada pasal 184 KUHAP ditegaskan alat bukti yang sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Alat bukti yang dapat digunakan dalam penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan hanyalah keterangan saksi, keterangan ahli dan surat. Petunjuk adalah alat bukti otoritatif hakim berdasarkan Pasal 188 KUHAP bahwa petunjuk diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Artinya, alat bukti petunjuk bukanlah milik penyelidik, penyidik maupun penuntut umum. Alat bukti petunjuk bersifat accessories evidence atau bukti pelengkap yang tidak dapat berdiri sendiri. Demikian pula keterangan terdakwa yang hanya menyangkut pernyataan terdakwa di pengadilan mengenai apa yang dialaminya dan untuk dirinya sendiri.
Bukti yang ditanyakan pada sidang praperadilan Pegi, berupa keterangan saksi yang menyatakan pegi adalah pelaku dan bukti surat yang berasal dari putusan penetapan pegi sebagai DPO, lalu akun sosial media facebook pegi. Seharusnya ini menjadi petunjuk saja. Dan petunjuk saja tidak bisa menjadi dasar penangkapan dan penetapan seseorang sebagai tersangka.
Kedua, Ada 3 prinsip dasar pemberi keterangan ahli yakni Objektif, Netral dan Independen. Ahli harus memberi keterangan secara objektif. Netral artinya ahli tidak memberi keterangan berdasarkan keinginan yang meminta, misalnya yang meminta ahli ada penasehat hukum atau penuntut umum. Ahli harus bertindak netral berdasarkan objektifitas keilmuan yang diyakini benar. Independen berarti bahwa ahli tidak dapat diintervensi. Ahli memiliki kebebasan untuk menjawab pertanyaan berdasarkan keahlian yang dimiliki dengan menjunjung tinggi 3 prinsip dasar ahli yakni objektif, netral dan independen.
Ketiga, Pembuktian dalam perkara pidana adalah hal yang sangat penting In criminalibus, probationes bedent esse luce clariores (Dalam perkara pidana, bukti harus lebih terang dari pada cahaya). Sehingga error in persona jangan sampai terjadi karena sanksi pidana sifatnya nestapa penderitaan. Seharusnya sidang praperadilan ini menguji prosedural atau mekanisme penetapan tersangka hingga penangkapan yang dilakukan.
Keempat, Sehubungan dengan praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP dibatasi pada pada aspek formil saja. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Pasal 2 ayat 2 menegaskan bahwa pemeriksaan praperadilan hanya menilai aspek formil yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara. Beberapa bukti yang memang sudah berada dibawah penguasaan pihak kepolisian, misalnya rekaman cctv atau telepon seluler milik korban dan pelaku yang sudah tertangkap, tidak dikeluarkan dapat saja karena dianggap hal tersebut masuk ke dalam pokok perkara.
Dr. Beniharmoni Harefa, S.H., LL.M. (Wakil Dekan Bidang Akademik FH UPN Veteran Jakarta/Ahli Hukum Pidana)